Selasa, 23 September 2014

akibat rendahnya tingkat pendidikan di indonesia

Tingkat Pendidikan yang Rendah Mengakibatkan Lemahnya Mental Masyarakat

Sungguh sangat ironis ketika kita mengitari jalan-jalan disela-sela aktivitas kita sehari-hari, sering nampak dalam pengamatan kita banyaknya gepeng-gepeng dari mulai kalangan lansia, dewasa bahkan anak-anak hingga bayipun turut serta dibawa oleh orang tuanya mengelilingi kota dengan menyinggahi rumah demi rumah untuk meminta-minta. Bertambahnya tahun kemerdekaan bangsa ini tidak memberikan bangsa ini perubahan yang berarti, banyak sekali permasalahan yang kian merumit khususnya dalam pengentasan kemiskinan. Semakin maraknya gepeng-gepeng merupakan salah satu bukti bahwa masalah kemiskinan menempati jajaran teratas permasalahan bangsa selain permasalahan degradasi moral. Pernahkah muncul pertanyaan dalam benak kita, ‘salah siapakah ini ?’.

Mungkin selama ini pemikiran kita hanya sebatas mempermasalahkan siapakah yang bersalah sehingga bangsa ini selalu dihadapkan oleh kesulitan dalam mencari solusi. Jika kita fokus kepada ‘solusi’ tentu yang akan kita dapat adalah ‘jawaban’, dan jawaban itu hanya sekedar wacana semata tanpa adanya sebuah ‘tindakan’. Tanggung jawab mengentaskan kemiskinan ( khususnya permasalahan gepeng) bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah maupun pusat, melainkan tanggung jawab bersama seluruh bangsa Indonesia.
Sebuah permasalahan pasti ada sebab dan akibatnya, tak terkecuali permasalahan gepeng ini. Maraknya gepeng di daerah-daerah di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ketidak mampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi ditambah lagi dengan melambungnya beberapa kebutuhan pokok. Jika kebutuhan ekonomi sulit terpenuhi maka secara otomatis kebutuhan pendidikanpun akan terbengkalai. Minimnya pendidikan akan berdampak kepada sempitnya wawasan dan pola pikir serta lemahnya mental. Inilah yang menjadi kunci permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dalam moment ‘100 Tahun Kebangkitan Nasional’, tentunya permasalahan ini tidak boleh kita lupakan, melainkan kita harus turut memikirkan solusi.
Yang menjadi pertanyaan besar pada problem ini adalah ‘ Mengapa Gepeng Semakin Marak?’. Jawaban yang paling mendasar tentunya adalah rendahnya tingkat ekonomi masyarakat ( para gepeng tentunya). ‘Lalu solusi apakah yang kita butuhkan untuk mengatasi permasalahan tersebut ?’. Tentunya pemerintah daerah khususnya memegang peranan penting dalam hal ini, rendahnya tingkat ekonomi para gepeng sebagian besar karena para gepeng tidak memiliki lahan pekerjaan untuk menghasilkan uang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Tindakan konkrit pemerintah tentunya membuka lapangan pekerjaan bagi para gepeng. Dengan jumlah gepeng yang tidak lebih dari 3 % di Cirebon khususnya, pemerintah seharusnya mudah melakukan kebijakan untuk memberi pekerjaan kepada para gepeng yang jumlahnya masih sedikit dibandingkan jumlah penduduk Cirebon seluruhnya. Dengan penetapan APBD untuk masalah ini yang kemungkinan hanya 0.00..%, bisa saja pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan bagi para gepeng, itupun jika pemerintah mau peduli. Namun jika kita intropeksi kembali bahwa fungsi pemerintahan adalah melayani masyarakat maka tentunya kepedulian kepada masyarakat adalah ‘harga mati’.
Lapangan pekerjaan yang diciptakan sebaiknya lebih bersifat mendidik para gepeng untuk lebih mandiri bukan lapangan pekerjaan yang bersifat pasif. Pekerjaan yang bersifat pasif biasanya tidak bertahan lama, karena akibat rendahnya tingkat ekonomi para gepeng berdampak pula pada rendahnya tingkat pendidikannya, maka yang ada dalam pemikiran mereka hanyalah bagaimana ‘saya bisa makan hari ini’, bukanya ‘bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan saya dan keluarga hari ini dan yang akan datang dan selamanya sehingga saya dan keluarga bisa hidup lebih baik ‘. Contoh lapangan pekerjaan yang bersifat pasif yang sudah berlangsung dahulu di negara kita ini adalah ‘program padat karya’, Memang program ini pemerintah bisa melibatkan banyak masyarakat pengangguran untuk bisa bekerja, namun setelah lahan garapan sudah tidak ada pemerintah tidak melakukan follow up lagi sehingga pekerjaan itu hanya bersifat insidental. Setelah itu masyarakat akan kembali sebagai pengangguran sampai menunggu ada program padat karya selanjutnya. Sekali lagi, hal itu terjadi karena rendahnya tingkat pendidikan yang berdampak pada sempitnya wawasan dan lemahnya mental masyarakat sehingga mereka tidak memiliki sebuah keinginan besar untuk merubah taraf hidupnya menjadi lebih baik. Banyak sekali kita temui para gepeng dan ketika kita tanya adakah keinginan mereka untuk merubah taraf hidupnya, sebagian besar jawaban mereka adalah mereka ada keinginan namun tidak diiringi dengan usaha keras melainkan hanya berpasrah. Bahkan ada yang lebih ironis lagi ketika banyak pemuda/ pemudi yang menjadi gepeng dengan alasan ‘ini adalah pekerjaan saya’, padahal jika mereka mau berusaha lebih keras maka mereka mampu meningkatkan taraf hidupnya tanpa harus meminta-minta mengharapkan iba dari orang lain. Bukankah tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah?
Jika kita sepakat bahwasanya pemerintah harus menciptakan lapangan pekerjaan bagi para gepeng, lalu muncul pula pertanyaan dalam benak kita ‘bagaimanakah caranya?’. Memang jika kita ingin merubah masyarakat yang berpendidikan bukan hal yang sulit, kita hanya mengarahkan, mereka sudah mampu mencerna. Tapi ini permasalahan gepeng yang notabenenya kebanyakan mereka tidak mengenyam pendidikan, tentu sangat sulit bukan, karena sebagian besar pemikiran mereka hanya sebatas permasalahan ‘perut’.
Untuk mengatasi permasalahan diatas tentunya pemerintah harus berperan aktif memberikan pelatihan-pelatihan kerja bagi para gepeng kemudian membimbing dan memberikan modal usaha dengan system terkontrol atau termonitor. Pelatihan bisa saja meliputi pelatihan menjahit pelatihan membuat makanan, pelatihan membuat kerajinan dan sebagainya. Setelah pemerintah merasa yakin mereka telah menguasai skill-skill tersebut maka peran pemerintah tidak sampai disitu, pemerintah harus membimbing sampai para gepeng benar-benar mandiri dan sadar bahwa bekerja keras lebih baik daripada meminta-minta. Bimbingan bisa saja melalui pemberian kredit usaha tanpa bunga dengan system pembayaran terkontrol/ termonitor, sehingga para gepeng memiliki kewajiban untuk bisa mengembalikan modal dengan mengembangkan usaha sesuai kemampuan usaha yang telah mereka dapatkan dalam pelatihan. Jadi pemerintah tidak menyuapi melainkan menuntun para gepeng untuk bisa makan sendiri.
Untuk mewujudkan hal itu pemerintah perlu membangun sarana dan prasarana pelatihan para gepeng misalnya dalam bentuk asrama gepeng. Dimana disitu para gepeng mendapat pelatihan dan jaminan hidup untuk sementara waktu sampai siap untuk mandiri. Namun, di kota-kota besar yang sudah melakukan hal itu terkadang menghadapi tantangan yaitu penolakan para gepeng untuk dididik. Meneggapi hal ini tentunya harus ada peran serta Polisi Pamong Praja untuk mengatasi hal tersebut, peran Satpol PP bukan menangkap lalu menghukum namun menangkap untuk diberi kehidupan yang lebih baik. Tentunya tindakan tegas Satpol PP memegang peranan penting.
Dengan adanya solusi diatas, maka sedikitnya dapat mengurangi maraknya gepeng di jalan-jalan. Karena jika terus dibiarkan tahun-tahun kedepan jumlahnya akan sampai meningkat drastis dan tentunya semakin membuktikan lemahnya mental masyarakat. Apalagi sekarang banyak para gepeng yang membawa anaknya turut serta untuk meminta-minta tentunya hal ini berdampak negatif bagi anak-anak mereka. Dalam masa pertumbuhan anak-anak tersebut mereka sudah terbiasa meminta-minta. Jika ini terus terjadi dan semakin banyak, maka akan bagaimana masa depan Bangsa Indonesia ?. Apakah kita mau bangsa kita dikenal di dunia Internasional sebagai ‘ Bangsa 1001 Gepeng’ ?. Tentu tidak bukan.
Selain pemerintah masalah gepeng ini juga tanggung jawab bersama seluruh bangsa Indonesia, banyak sekali cara yang dapat kita lakukan seperti menginfakkan sebagian harta kita untuk mereka. Namun infak yang kita berikan bukan dalam bentuk pemberian langsung kepada para gepeng tetapi lebih bersifat mendidik. ‘Bagaimanakah caranya ?’ Di Cirebon khususnya ada beberapa lembaga amil zakat dimana salah satu program utamanya adalah pengentasan kemiskinan dengan cara pemberian modal kepada kaum duafa. Dengan turut berpartisipasinya semua masyarakat khususnya yang mampu dalam berinfak maka permasalahan ini akan sedikit teratasi. Bayangkan jika persentase penduduk yang mampu lebih besar dari persentasi gepeng, kemudian penduduk yang mampu itu mau berbagi dengan menginfakkan sebagian hartanya maka bukan tidak mungkin masyarakat khususnya Cirebon akan sejahtera secara merata, belum lagi jika ditambah para pengusaha yang mau turut serta membantu kaum duafa maka pengentasan kemiskinan akan semakin efektif. Bukan tidak mungkin kedepan Indonesia bisa menjadi ‘Negara Sejahtera Seutuhnya’. Wujudkan Indonesia Bermartabat Sekarang dan Selamanya !

1 komentar:

Posting Komentar