Tingkat Pendidikan yang Rendah Mengakibatkan Lemahnya Mental Masyarakat
Sungguh
sangat ironis ketika kita mengitari jalan-jalan disela-sela aktivitas
kita sehari-hari, sering nampak dalam pengamatan kita banyaknya
gepeng-gepeng dari mulai kalangan lansia, dewasa bahkan anak-anak hingga
bayipun turut serta dibawa oleh orang tuanya mengelilingi kota dengan
menyinggahi rumah demi rumah untuk meminta-minta. Bertambahnya tahun
kemerdekaan bangsa ini tidak memberikan bangsa ini perubahan yang
berarti, banyak sekali permasalahan yang kian merumit khususnya dalam
pengentasan kemiskinan. Semakin maraknya gepeng-gepeng merupakan salah
satu bukti bahwa masalah kemiskinan menempati jajaran teratas
permasalahan bangsa selain permasalahan degradasi moral. Pernahkah
muncul pertanyaan dalam benak kita, ‘salah siapakah ini ?’.
Mungkin selama ini pemikiran kita hanya
sebatas mempermasalahkan siapakah yang bersalah sehingga bangsa ini
selalu dihadapkan oleh kesulitan dalam mencari solusi. Jika kita fokus
kepada ‘solusi’ tentu yang akan kita dapat adalah ‘jawaban’, dan jawaban
itu hanya sekedar wacana semata tanpa adanya sebuah ‘tindakan’.
Tanggung jawab mengentaskan kemiskinan ( khususnya permasalahan gepeng)
bukan hanya tanggung jawab pemerintah daerah maupun pusat, melainkan
tanggung jawab bersama seluruh bangsa Indonesia.
Sebuah permasalahan pasti ada sebab dan
akibatnya, tak terkecuali permasalahan gepeng ini. Maraknya gepeng di
daerah-daerah di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ketidak
mampuan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan ekonomi ditambah lagi dengan
melambungnya beberapa kebutuhan pokok. Jika kebutuhan ekonomi sulit
terpenuhi maka secara otomatis kebutuhan pendidikanpun akan
terbengkalai. Minimnya pendidikan akan berdampak kepada sempitnya
wawasan dan pola pikir serta lemahnya mental. Inilah yang menjadi kunci
permasalahan yang sebenarnya terjadi. Dalam moment ‘100 Tahun
Kebangkitan Nasional’, tentunya permasalahan ini tidak boleh kita
lupakan, melainkan kita harus turut memikirkan solusi.
Yang menjadi pertanyaan besar pada
problem ini adalah ‘ Mengapa Gepeng Semakin Marak?’. Jawaban yang paling
mendasar tentunya adalah rendahnya tingkat ekonomi masyarakat ( para
gepeng tentunya). ‘Lalu solusi apakah yang kita butuhkan untuk mengatasi
permasalahan tersebut ?’. Tentunya pemerintah daerah khususnya memegang
peranan penting dalam hal ini, rendahnya tingkat ekonomi para gepeng
sebagian besar karena para gepeng tidak memiliki lahan pekerjaan untuk
menghasilkan uang dalam memenuhi kebutuhan ekonominya. Tindakan konkrit
pemerintah tentunya membuka lapangan pekerjaan bagi para gepeng. Dengan
jumlah gepeng yang tidak lebih dari 3 % di Cirebon khususnya, pemerintah
seharusnya mudah melakukan kebijakan untuk memberi pekerjaan kepada
para gepeng yang jumlahnya masih sedikit dibandingkan jumlah penduduk
Cirebon seluruhnya. Dengan penetapan APBD untuk masalah ini yang
kemungkinan hanya 0.00..%, bisa saja pemerintah menciptakan lapangan
pekerjaan bagi para gepeng, itupun jika pemerintah mau peduli. Namun
jika kita intropeksi kembali bahwa fungsi pemerintahan adalah melayani
masyarakat maka tentunya kepedulian kepada masyarakat adalah ‘harga
mati’.
Lapangan pekerjaan yang diciptakan
sebaiknya lebih bersifat mendidik para gepeng untuk lebih mandiri bukan
lapangan pekerjaan yang bersifat pasif. Pekerjaan yang bersifat pasif
biasanya tidak bertahan lama, karena akibat rendahnya tingkat ekonomi
para gepeng berdampak pula pada rendahnya tingkat pendidikannya, maka
yang ada dalam pemikiran mereka hanyalah bagaimana ‘saya bisa makan hari
ini’, bukanya ‘bagaimana saya bisa mencukupi kebutuhan saya dan
keluarga hari ini dan yang akan datang dan selamanya sehingga saya dan
keluarga bisa hidup lebih baik ‘. Contoh lapangan pekerjaan yang
bersifat pasif yang sudah berlangsung dahulu di negara kita ini adalah
‘program padat karya’, Memang program ini pemerintah bisa melibatkan
banyak masyarakat pengangguran untuk bisa bekerja, namun setelah lahan
garapan sudah tidak ada pemerintah tidak melakukan follow up lagi
sehingga pekerjaan itu hanya bersifat insidental. Setelah itu masyarakat
akan kembali sebagai pengangguran sampai menunggu ada program padat
karya selanjutnya. Sekali lagi, hal itu terjadi karena rendahnya tingkat
pendidikan yang berdampak pada sempitnya wawasan dan lemahnya mental
masyarakat sehingga mereka tidak memiliki sebuah keinginan besar untuk
merubah taraf hidupnya menjadi lebih baik. Banyak sekali kita temui para
gepeng dan ketika kita tanya adakah keinginan mereka untuk merubah
taraf hidupnya, sebagian besar jawaban mereka adalah mereka ada
keinginan namun tidak diiringi dengan usaha keras melainkan hanya
berpasrah. Bahkan ada yang lebih ironis lagi ketika banyak pemuda/
pemudi yang menjadi gepeng dengan alasan ‘ini adalah pekerjaan saya’,
padahal jika mereka mau berusaha lebih keras maka mereka mampu
meningkatkan taraf hidupnya tanpa harus meminta-minta mengharapkan iba
dari orang lain. Bukankah tangan diatas lebih baik dari tangan dibawah?
Jika kita sepakat bahwasanya pemerintah
harus menciptakan lapangan pekerjaan bagi para gepeng, lalu muncul pula
pertanyaan dalam benak kita ‘bagaimanakah caranya?’. Memang jika kita
ingin merubah masyarakat yang berpendidikan bukan hal yang sulit, kita
hanya mengarahkan, mereka sudah mampu mencerna. Tapi ini permasalahan
gepeng yang notabenenya kebanyakan mereka tidak mengenyam pendidikan,
tentu sangat sulit bukan, karena sebagian besar pemikiran mereka hanya
sebatas permasalahan ‘perut’.
Untuk mengatasi permasalahan diatas
tentunya pemerintah harus berperan aktif memberikan pelatihan-pelatihan
kerja bagi para gepeng kemudian membimbing dan memberikan modal usaha
dengan system terkontrol atau termonitor. Pelatihan bisa saja meliputi
pelatihan menjahit pelatihan membuat makanan, pelatihan membuat
kerajinan dan sebagainya. Setelah pemerintah merasa yakin mereka telah
menguasai skill-skill tersebut maka peran pemerintah tidak sampai
disitu, pemerintah harus membimbing sampai para gepeng benar-benar
mandiri dan sadar bahwa bekerja keras lebih baik daripada meminta-minta.
Bimbingan bisa saja melalui pemberian kredit usaha tanpa bunga dengan
system pembayaran terkontrol/ termonitor, sehingga para gepeng memiliki
kewajiban untuk bisa mengembalikan modal dengan mengembangkan usaha
sesuai kemampuan usaha yang telah mereka dapatkan dalam pelatihan. Jadi
pemerintah tidak menyuapi melainkan menuntun para gepeng untuk bisa
makan sendiri.
Untuk mewujudkan hal itu pemerintah
perlu membangun sarana dan prasarana pelatihan para gepeng misalnya
dalam bentuk asrama gepeng. Dimana disitu para gepeng mendapat pelatihan
dan jaminan hidup untuk sementara waktu sampai siap untuk mandiri.
Namun, di kota-kota besar yang sudah melakukan hal itu terkadang
menghadapi tantangan yaitu penolakan para gepeng untuk dididik.
Meneggapi hal ini tentunya harus ada peran serta Polisi Pamong Praja
untuk mengatasi hal tersebut, peran Satpol PP bukan menangkap lalu
menghukum namun menangkap untuk diberi kehidupan yang lebih baik.
Tentunya tindakan tegas Satpol PP memegang peranan penting.
Dengan adanya solusi diatas, maka
sedikitnya dapat mengurangi maraknya gepeng di jalan-jalan. Karena jika
terus dibiarkan tahun-tahun kedepan jumlahnya akan sampai meningkat
drastis dan tentunya semakin membuktikan lemahnya mental masyarakat.
Apalagi sekarang banyak para gepeng yang membawa anaknya turut serta
untuk meminta-minta tentunya hal ini berdampak negatif bagi anak-anak
mereka. Dalam masa pertumbuhan anak-anak tersebut mereka sudah terbiasa
meminta-minta. Jika ini terus terjadi dan semakin banyak, maka akan
bagaimana masa depan Bangsa Indonesia ?. Apakah kita mau bangsa kita
dikenal di dunia Internasional sebagai ‘ Bangsa 1001 Gepeng’ ?. Tentu
tidak bukan.
Selain pemerintah masalah gepeng ini
juga tanggung jawab bersama seluruh bangsa Indonesia, banyak sekali cara
yang dapat kita lakukan seperti menginfakkan sebagian harta kita untuk
mereka. Namun infak yang kita berikan bukan dalam bentuk pemberian
langsung kepada para gepeng tetapi lebih bersifat mendidik.
‘Bagaimanakah caranya ?’ Di Cirebon khususnya ada beberapa lembaga amil
zakat dimana salah satu program utamanya adalah pengentasan kemiskinan
dengan cara pemberian modal kepada kaum duafa. Dengan turut
berpartisipasinya semua masyarakat khususnya yang mampu dalam berinfak
maka permasalahan ini akan sedikit teratasi. Bayangkan jika persentase
penduduk yang mampu lebih besar dari persentasi gepeng, kemudian
penduduk yang mampu itu mau berbagi dengan menginfakkan sebagian
hartanya maka bukan tidak mungkin masyarakat khususnya Cirebon akan
sejahtera secara merata, belum lagi jika ditambah para pengusaha yang
mau turut serta membantu kaum duafa maka pengentasan kemiskinan akan
semakin efektif. Bukan tidak mungkin kedepan Indonesia bisa menjadi
‘Negara Sejahtera Seutuhnya’. Wujudkan Indonesia Bermartabat Sekarang
dan Selamanya !
1 komentar:
nice bang
Posting Komentar